DHEAN.NEWS DENPASAR – Sidang kasus dugaan korupsi LPD Kapal, Mengwi, Badung, senilai Rp 15,3 miliar dengan terdakwa I Made Ladra, Selasa (4/12) mulai bergulir ke Pengadilan Tipikor
Sidang dengan Majelis Hakim pimpinan Angeliky Handajani Day, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Bali dan Kejari Badung menjerat Ladra dengan pasal berlapis.
Salah satu pasal yang dipakai jaksa adalah “Pasal Angie” alias Pasal 18 UU Nomor 20/2001 tentang Tipikor.
Pasal tentang pidana tambahan berupa perampasan harta benda untuk membayar uang ganti rugi yang dikorupsi itu pernah digunakan jaksa KPK untuk menjerat Angelina Sondakh, dalam perkara korupsi wiswa atlet di Hambalang.
Namun, ancaman hukuman terberat yakni Pasal 2 Ayat (1) undang-undang yang sama dengan ancaman pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. JPU juga memasang Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Seperti dibacakan JPU Fajar dari Kejari Badung dalam dakwaan kesatu primer. “Terdakwa diduga melakukan upaya memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,” ujar JPU Fajar di hadapan majelis hakim yang diketuai Angeliky Handajani Day, Selasa (4/12).
LPD yang dikelola terdakwa bermodalkan dari APBD Badung dan donasi dari Pemprov. Dan pendirian LPD tersebut berdasarkan SK Gubernur Bali Nomor 151/1990 tentang Pendirian LPD.
Selanjutnya dalam dakwaan kesatu subsider, Ladra didakwa melakukan tindak pidana dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 dalam undang-undang yang sama berikut undang-undang yang mengatur perubahannya.
Serta dikaitkan dengan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Kemudian lebih subsider, Pasal 8 juncto Pasal 18 dalam undang-undang yang sama beserta undang-undang yang mengatur perubahannya juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Atau kedua, perbuatan terdakwa I Made Ladra tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU RI Nomor 8/2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Berdasarkan audit yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Sri Marmo dan selanjutnya diinvestigasi oleh Tim Verifikasi dan Mediasi dengan metode risk base audit menyimpulkan ada sebelas temuan prinsip yang mengakibatkan LPD Desa Kapal mati suri.
Di antaranya adanya permufakatan jahat dari pengurus LPD yang menikmati fasilitas kredit dalam jumlah yang sangat besar.
“Fasilitas itu diberikan untuk diri terdakwa sendiri, istri terdakwa, keluarga terdakwa, dan perusahaan terdakwa. Pemberian fasilitas kredit itu dilakukan dengan bunga di bawah standar yang berkisar antara 1,3 persen sampai 2,5 persen,” beber jaksa.
Selain itu, temuan lain yakni adanya window dressing (rekayasa pemberian kredit) kepada anggota keluarga Ni Luh Rai Kristianti (mantan kolektor LPD) sebesar Rp 8,5 miliar.
Kredit tersebut diberikan dengan bunga di bawah standar.
yakni diberikan hanya satu persen atau dibawah ketentuan Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) yang besarannya minimal tiga persen.
Pemberian kredit bernilai fantastis itu dilakukan terdakwa dengan persetujuan badan pengawas.
Dan untuk menghindari aturan BPMK, pemberian kredit tersebut diberikan kepada empat orang debitur yang terhitung masih anggota keluarga terdakwa.
Dan pelunasan terhadap kredit sebesar Rp 8,5 miliar itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan tabungan fiktif. “Perbuatan terdakwa akibat pengelolaan LPD yang tidak sesuai aturan,” tukasnya.
Komentar