DHEAN.NEWS NIAS – Mungkin, belum banyak orang yang akrab dengan Desa Bawomataluo. Desa ini adalah tempat lahirnya pelompat batu handal asal Kepulauan Nias. Desa Bawomataluo menjadi salah satu bagian dari Ya’ahowu Nias Festival 2018.
Secara administrasi, Desa Bawomataluo berada di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Dari Kota Teluk Dalam, desa ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam dengan menggunakan mobil.
Desa kecil ini sangat padat. Lebih dari 2000 jiwa tinggal disana. Dengan jumlah 300 kepala keluarga. Tak heran jika dalam satu rumah terdapat sekitar dua hingga tiga keluarga.
Desa ini punya sejarah panjang. Karena sudah ada sejak sekitar 250 tahun yang lalu. Masyarakatnya pun masih mempertahankan keaslian bangunan adat mereka.
Namun, kini Bawomataluo sudah berstatus sebagai desa wisata. Bahkan, desa ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Sertifikat sebagai Cagar Budaya Nasional diserahkan perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Minggu (19/11).
“Kita tentu sangat bangga dengan pencapaian status cagar budaya untuk Desa Buwomataluo. Karena memang desa ini memiliki sejarah yang sangat panjang. Dan, sangat menjaga kelestarian budayanya,” kata Wakil Bupati Nias Selatan Sozadolo Nduru.
Seperti halnya masyarakat Nias lain, warga Desa Bawomataluo sangat ramah dengan wisatawan. Tak heran jika desa ini dimasukkan sebagai salah satu sub event dari Ya’ahowu Nias Festival 2018. Namanya, One Day in Bawomataluo.
Di desa ini, anak-anak dari berbagai level usia dididik untuk menjadi ‘prajurit’ yang akan melakukan Fahombo Batu alias Lompat Batu. Anak-anak di usia 10 tahun ke bawah, dilatih dengan media bambu.
Di sini, mereka akan terus diasah ketinggian lompatannya. Sedangkan untuk usia 10 tahun ke atas, atau jika telah telah berhasil mencapai level yang diinginkan, mereka akan melakukan simulasi Fahombo Batu dengan papan yang dibuat menyerupai batu. Ini tahap terakhir sebelum mereka bisa dilepas sebagai pelompat batu.
Namun, tidak hanya Fahombo Batu yang disajikan Desa Bawomataluo. Mereka juga punya aktivitas Famadaya Harimao. Biasanya, aktivitas ini dilakukan setiap tujuh tahun sekali.
Kegiatannya berupa mengarak replika harimau menggunakan kayu besar. Mereka diiringi dengan para penari perang dalam jumlah besar.
Atraksi Tari Perang yang dibawakan orang-orang tua menjadi aksi yang juga di gelar di Desa Bawomataluo. Tarian ini juga dibawakan kolosal. Lengkap dengan pakaian kebesaran Nias. Serta beragam atribut prajuritnya yang dikenal sangat berani.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerin Pariwisata Ni Wayan Giri Adnyani, berharap nilai-nilai tradisi Desa Bawomataluo tidak luntur.
“Semua ini harus dipertahankan. Jika kita ingin Desa Bawomataluo menjadi cagar budaya internasional, pertahankan keaslian ini. Baik bangunan maupun budayanya. Kita sangat mendukung, karena desa ini adalah juga bagian dari kekayaan budaya nusantara,” papar Ni Wayan Giri, didampingi Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Regional I Masruroh.
Dukungan juga diberikan Menteri Pariwisata Arief Yahya. Dijelaskannya, Desa Bawomataluo harus menjaga keaslian dan tradisi masyarakatnya.
“Sekarang tradisi dan budaya yang telah mereka pertahankan selama ratusan tahun telah menghasilkan. Menjadi satu atraksi pariwisata yang gaungnya terdengar hingga mancanegara,” paparnya.
Arief Yahya menambahkan, hal ini sesuai dengan prinsip yang selalu ia tanamkan. “Budaya itu semakin dilestarikan semakin menghasilkan. Semakin punya nilai jual. Desa Bawomataluo sudah membuktikannya,” papar Menpar.
Komentar